Inspiratif, Inilah Kisah Sosok Kakek Penjaga Pintu Air Pengangkat Sampah di Sungai Ciloseh

Inspiratif, Inilah Kisah Sosok Kakek Penjaga Pintu Air Pengangkat Sampah di Sungai Ciloseh

TASIK.TV | Langit di atas Kota Tasikmalaya terlihat cerah, namun terik sinar matahari membakar tubuh seorang kakek yang tengah mengangkat sampah dengan menggunakan galah yang ujungnya diikatkan sebuah jaring berbentuk lingkaran.

Tangan pria itu tak henti-hentinya mengangkat tumpukan sampah yang didominasi oleh sampah plastik dengan galahnya di pintu air Sungai Ciloseh, tepatnya di DAM Pintu Air Ciloseh Simpang Lima, Tawangsari, Tawang, Kota Tasikmalaya.

Tepat pukul 12.33 WIB, terdengar sayup suara adzan berkumandang, sang kakek menyimpan galah di pinggiran tembok pintu air dan meninggalkan tumpukan sampah menuju sebuah bangunan milik Balai Pengelolaan Sumber Daya Air UPTD Wilayah Sungai Citanduy. Sang kakek duduk di teras sambil membuka sepatu bootnya, sesekali menyeka keringat di dahinya dengan kaosnya yang bermotif salur warna coklat.

Sang kakek, yang berusia setengah abad, bernama Enjang Dayat. Ketika berbicara kepada TASIK.TV, ia bercerita tentang pekerjaannya sebagai penjaga pintu air Sungai Ciloseh yang telah dilakukannya sejak tahun 2011. Enjang Dayat telah mengalami banyak kisah duka dalam pekerjaannya, mulai dari menghadapi bau busuk bangkai yang menyengat menusuk hidung di tumpukan sampah hingga mengangkut puluhan truk sampah.

Kakek yang telah memiliki delapan cucu ini menyebut tugasnya untuk mengangkat sampah sebagai beban yang sangat berat baginya. Pasalnya, volume sampah yang begitu banyak tidak seimbang dengan tenaganya yang sudah mulai uzur karena ia melakukannya sendiri, dan kadang hanya dibantu oleh seorang rekan kerjanya, jika ada. Padahal, ketika terjadi hujan, jumlah sampah yang harus diangkatnya bisa mencapai sepuluh truk bahkan lebih.

Enjang Dayat berharap pemerintah dapat mengeluarkan aturan dan mengaplikasikannya dengan menegakkan sanksi minimal berupa denda. Jika hal ini tidak cukup menyelesaikan masalah, maka penjara juga harus diterapkan agar masyarakat yang membuang sampah ke sungai mendapatkan efek jera.

“Ari nu didameul kan terbatas masing make mesin oge ari tanaga terbatas mah, masing kukumaha ge masalah sampah teh moal ka atasi, komo lamun ayeuna teu aya larangan atawa teu aya sangsi hukum anu diterapkeun. Duka kumaha aturan kebijakan pamarentah teh....?, nu penting miminalna aya denda kadituna dipenjara, da ari sebatas dihimbau mah ti kapungkur oge dihimbau panginteun (Yang bekerjanya kan terbatas, walaupun dengan memakai mesin sekalipun kalau yang pekernya terbatas permasalahan sampah tidak akan teratasi, Bagaimana aturan kebijakan pemerintah ini ....? yang penting minimalnya ada sangsi denda lebih jauhnya lagi dipenjara, kalau hanya sebatas himbauan sejak dari dulu juga sudah himbau),”harap Endang kepada TASIK.TV, Minggu 16 Juli 2023.

Suami dari Uus Kusmawati, yang lahir tahun 1969, menceritakan masalah gundukan sampah di sungai Ciloseh sudah terjadi sejak belasan tahun yang lalu. Untuk mengatasi penyumbatan sampah ke saluran sungai Cimulu, yang akan mengairi ratusan hektar lahan pertanian di wilayah Cibeureum dan Manonjaya, dirinya merasa tidak mampu mengangkat sampah tersebut. Sebagai alternatif, ia membuang tumpukan sampah ke tiga pintu saluran induk sungai Ciloseh, meskipun mengetahui bahwa hal itu akan berdampak buruk ke hilir sungai. Namun, langkah tersebut diambil karena bila dibiarkan, tumpukan sampah tersebut akan menyumbat pintu air, yang pada gilirannya akan meningkatkan volume debit air sehingga dikhawatirkan akan merendam bangunan yang berada di sekitar bantaran sungai.

Ia pun tidak menyangkal bahwa beban berat dari program mengangkat sampah dari sungai ini dirasakannya, terutama setelah ada kunjungan Wakil Gubernur Jawa Barat, H. Uu Ruzhanul Ulum, ke pintu air sungai Ciloseh beberapa waktu yang lalu. Padahal, menurutnya, tugas pokoknya bukan untuk mengangkat sampah, melainkan bertugas memberikan layanan kepada petani di bidang pengairan, termasuk membagikan air ke saluran irigasi yang harus dilakukan secara 24 jam karena tugasnya terkait dengan kondisi cuaca dan alam. Hal ini berbeda dengan petugas dinas yang bekerja di kantor dan memiliki jam kerja dari Senin sampai Jumat.

"Buktosna ayeuna dinteun minggon, ieu sampah numpuk? Kedah diangkat ku nyalira, saleuheung mun aya batur nu mantuan.  Da teu aya ti pengairan mah kedah ngatasi sampah mah, ari pengairan mah memberikan pelayanan kepada petani di bidang pengairan (Buktinya sekarang hari Minggu, Ini sampah menumpuk? Harus diangkat sendiri, mending kalau ada rekan yang membantu, Tidak ada tugas pokok  dari dinas pengairan itu untuk mengatasi sampah, dinas pengairan itu bertugas untuk memberikan pelayanan kepada petani dibidang pengairan),” jelasnya.

Aparatur Sipir Negara bergolongan dua yang hanya memiliki ijazah persamaan setara SMA ini mengemukakan program pengangkatan sampah yang dibebankan kepada dirinya tidak akan berhasil  dan memiliki faedah yang baik karena tugas yang dibebankan tidak seimbang dengan sumber daya dan tenaga serta fisik yang dimilikinya.

“Program pengangkatan sampah ieu teh ti kantor, tapi abdi yakin secara pribadi lamun kucara kieu mah moal hasil, sanes abdi tidak menyadari kana tugas tapi asa moal aya paedah baik jeung maslahat karna didameul ieu bari ripuh. Katanagaan heuntu awak ripuh manfaatna teu aya , torojol deui torojol deui sampah teh. Bingung abdi teh ku kebijakan ieu teh atas dasar tina naon? (Program pengankatan sampah ini dari kantor, tapi saya yakin secara pribadi  dengan cara seperti ini tidak akan berhasil, bukan saya tidak menyadari terhadap tugas tetapi dirasa tidak ada faedah yang baik dan maslahat, karena kita bekerja sangat tersiksa, tenaga tidak sampai badan rusak dan manfaat tidak didapat, sampah datang lagi datang lagi. Saya bingung pada kebijakan pemerintah ini, apa yang menjadi darnya?,” tuturnya.

Terkait dengan  kedinasan urusan sampah menurutnya Dinas Lingkungan Hidup Kota Tasikmalaya lah yang harus tampil terdepan, namun dirinya pun memahami akan keterbatasan Dinas lingkungan hidup, apalagi penanganan sampah  yang ada di sungai saat ini. 

“Teras upami dipakuat pakait kadinasan urusan sampah mah tetap LH nu dipayun, duka sampah di cai atawa di darat, tapi LH oge rada muringgis  ari dipiwarang kacai mah, da memang teu aya program ti ditunya panginteun nya, kitu deui abdi bari memberikan pelayan air kari kari ngabersihkeun sampah terus. (Terkait dengan kedinasan perihal sampah semestinya tetap LH yang harus terdepan, baik sampah yang ada di sungai ataupun di darat, tapi LH juga mungkin agak miris penanganan sampai di sungai, karena tidak ada programnya, apalagi saya sambil memberikan pelayanan air ditambah tugas membersihkan sampah terus),”tuturnya.

Namun Endang memberikan pemikiran bahwa penuntasan permasalahan sampah  harus memberikan sumbangsih yang saling mengingatkan terutama dalam hal penuntasan  masalah yang mendatangkan kemaslahatan, jangan seperti kegiatan yang dilaksanakan saat ini dalam penanganan sampah menjadi simbol belaka dan tidak memiliki memiliki tolak ukur  serta nilai kemanfaatan. Dirinya berharap penyelesaian masalah sampah tidak hanya pada program pengankatan sampah tetapi harus kepada pihak yang berbuat sampah itu ada di sungai.    

“Jiga nu enya we nangani padahal teu aya faedah jeung manfaatna, sedengkeun anu gaduh vokalna  anu ngayakeun sampah ka walungan teu dinanaon, hayoh we nu dikekesek teh nu dilapangan ari nu ngabuangan sampahna dianteup (Seperti yang benar saja penanganannya, padahal yang melakukan buang sampah ke sungai tidak ada reaksi sangsi apapun, yang ditekan itu hanya petugas yang dilapangan, sedangkan yang mebuang sampahnya dibiarkan),”sesal Endang.

Endang pun berpesan saat berjuang menangani sampah harus menjadi beban tanggung jawab dan tugas bersama yang memiliki kemanfaatan, sebab volume sampah kian hari semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan angka kelahiran manusia yang lebih besar .

“Ayeuna bayangkeun we jalmi seueur nu maot atau nu lahir?. Di sakampung we tangtos seueur nu lahir, tah ieu teh tangtu nu ngabuang sampah teh beuki nyeueuran, lamun teu aya jaring ku pamageur sangsi, hukum rek kumaha?. Teukteuk ceuli lah, lamun Dinas LH mampu meresan sampah di walungan ieu, lamun lain ku urang babareungan. (Sekarang bayangkan saja manusia banyak yang lahir atau yang mati? Dalam satu kampung saja tentu banyak yang lahir, tentu juga yang membuang sampah menjadi lebih banyak, kalau tidak ada sangsi yang memagari hukum akan seperti apa? Iris kuping saya kalau Dinas LH mampu menyelesaikan samaph di sungai ini, kalau bukan oleh kita semua),” pungkas Endang.