News

Pengacara Laporkan Majelis Hakim PN Tasikmalaya ke Komisi Yudisial Terkait Kasus Dugaan Salah Tangkap

222
×

Pengacara Laporkan Majelis Hakim PN Tasikmalaya ke Komisi Yudisial Terkait Kasus Dugaan Salah Tangkap

Sebarkan artikel ini

TASIK.TV | Nunu Mujahidin, kuasa hukum dari empat anak yang terjerat kasus penganiayaan, melaporkan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Tasikmalaya ke Komisi Yudisial. Ia menegaskan bahwa kliennya merupakan korban salah tangkap, dan menuding majelis hakim telah melanggar kode etik saat menjatuhkan vonis bersalah.

“Majelis hakim diduga telah menyiapkan putusan sebelum seluruh proses persidangan selesai,” ujar Nunu pada Sabtu, 25 Januari 2025.

Nunu menjelaskan bahwa dugaan tersebut terlihat dari kejanggalan dalam proses pembacaan putusan. Pada Kamis, 23 Januari 2025, hakim membacakan vonis hukuman 1 tahun 8 bulan penjara terhadap keempat anak. Namun, hakim sebelumnya juga menyebut putusan tersebut sudah ditetapkan pada Rabu, 15 Januari 2025.

Proses Persidangan yang Dinilai Tidak Sesuai Prosedur
Nunu mengungkapkan bahwa saat hakim menetapkan vonis pada 15 Januari, sidang baru memasuki tahap pembacaan dakwaan kedua dan pemeriksaan saksi dari Jaksa Penuntut Umum (JPU). Hal ini membuat keterangan saksi ahli yang dihadirkan pada 20 Januari, yaitu Ni Made Martini Putri, dosen kriminologi dari Universitas Indonesia (UI), dan Joko Jumadi, dosen hukum dari Universitas Mataram, tidak menjadi bahan pertimbangan.

“Karena putusan sudah dipersiapkan sebelumnya, pertimbangan yang meringankan hampir tidak ada. Proses hukum ini jelas tidak adil,” tegas Nunu.

Selain itu, dugaan pelanggaran etik juga terlihat dalam amar putusan. Majelis hakim menyatakan bahwa masa hukuman akan dikurangi masa tahanan. Namun, pengurangan tersebut hanya berlaku untuk masa penahanan mulai 6 Januari 2025, meskipun keempat anak telah ditahan sejak 1 Desember 2024.

Bukti Kejanggalan dan Penolakan Permohonan
Nunu menambahkan bahwa ia memiliki bukti kejanggalan berupa dua putusan hakim yang berbeda pada tanggal yang sama. Pada 6 Januari 2025, hakim sempat mengabulkan eksepsi penasihat hukum dengan putusan membebaskan anak-anak tersebut. Namun, di hari yang sama, hakim kembali memutuskan untuk menahan mereka dengan dasar perbaikan surat dakwaan dari jaksa.

Permintaan untuk memutar rekaman 24 CCTV dan menguji forensik barang bukti, seperti sidik jari pada celurit dan stik baseball, juga tidak dikabulkan oleh majelis hakim. Padahal, menurut Nunu, bukti-bukti tersebut sangat krusial untuk membuktikan bahwa kliennya tidak terlibat dalam tindak penganiayaan.

Rekomendasi dari Pembimbing Kemasyarakatan (PK) Balai Pemasyarakatan (Bapas), yang menjadi salah satu dasar putusan hakim, juga dinilai tidak valid. “Rujukan tersebut hanya berdasarkan berita acara pemeriksaan (BAP) polisi, yang saat itu dilakukan tanpa pendampingan dari Bapas. Bahkan, nama PK Bapas dalam dokumen tersebut hanya ditulis tangan, bukan diketik seperti biasanya,” jelas Nunu.

Tanggapan Pengadilan Negeri Tasikmalaya
Menanggapi laporan ini, Ketua PN Tasikmalaya, Khoiruman Pandu Kesuma Harahap, menegaskan bahwa proses peradilan telah dilakukan sesuai prosedur. “Ketiga hakim yang menangani kasus ini bersertifikat sebagai hakim anak dan terdaftar resmi,” ujar Khoiruman usai sidang pada Kamis, 23 Januari 2025.

Upaya Lanjutan dan Dukungan DPR
Keempat anak yang menjadi korban dugaan salah tangkap saat ini menjalani hukuman di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Bandung. Mereka adalah FM (17), RS (16), DW (16), dan RR (15). Para ibu dari anak-anak ini, dengan didampingi anggota DPR Fraksi PDIP, Rieke Diah Pitaloka, telah mengadukan kasus ini kepada wakil rakyat pada Selasa, 21 Januari 2025.

Kasus ini terus menjadi sorotan, dan Nunu bersama tim hukumnya berharap Komisi Yudisial dapat segera memproses laporan atas dugaan pelanggaran etik oleh majelis hakim PN Tasikmalaya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *