News

Refleksi Hari Disabilitas, Ruang Kerja Inklusif di Kota Tasikmalaya Masih Jadi Tantangan

16
×

Refleksi Hari Disabilitas, Ruang Kerja Inklusif di Kota Tasikmalaya Masih Jadi Tantangan

Sebarkan artikel ini

TASIK.TV | Peringatan Hari Disabilitas Internasional di Gedung Juang Kota Tasikmalaya, Kamis, 11 Desember 2025, menjadi ruang refleksi atas persoalan yang masih membayangi penyandang disabilitas.

Di tengah pameran karya yang menunjukkan kemampuan dan kreativitas, isu stigma sosial dan akses kerja yang sempit tetap muncul sebagai persoalan utama yang belum terpecahkan.

Sebanyak 256 penyandang disabilitas hadir sebagai delegasi resmi, mewakili lebih dari dua ribu penyandang disabilitas di kota ini.

Mereka menampilkan kerajinan tangan, lukisan, kriya, hingga produk kuliner. Gelaran tersebut memperlihatkan bahwa ketika kesempatan dibuka, karya yang lahir tidak kalah dengan pelaku kreatif lainnya.

Namun dunia kerja belum sepenuhnya ramah. Kesempatan pelatihan yang terbatas, fasilitas pendidikan yang tidak merata, dan stereotip sosial yang masih kuat membuat mereka menghadapi hambatan ganda.

Padahal, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 telah mengatur kewajiban pemerintah dan dunia usaha untuk menyediakan ruang kerja yang inklusif.

Kepala Dinas Sosial Kota Tasikmalaya, Budy Rachman, mengatakan peringatan ini seharusnya menjadi momentum untuk bergerak lebih jauh dari sekadar acara seremonial.

“Pembentukan kota yang ramah disabilitas adalah proses jangka panjang yang membutuhkan kontribusi kolektif,” ucapnya.

Budy menyampaikan apresiasi kepada para pendamping, komunitas, dan lembaga yang selama ini terlibat dalam penguatan kapasitas penyandang disabilitas.

“Kolaborasi pemerintah dan masyarakat, katanya, menjadi syarat utama untuk mewujudkan kota yang inklusif,” pungkasnya.

Staf Ahli Bidang Kemasyarakatan Pemkot Tasikmalaya, Uus Supangat, menegaskan bahwa penyandang disabilitas harus ditempatkan sebagai bagian dari arus utama pembangunan.

“Sejumlah program yang telah dijalankan, seperti pelatihan seni, vokasi, hingga penguatan kewirausahaan,” ujarnya.

Di sektor layanan publik, pemerintah mulai memperluas pelatihan bahasa isyarat bagi tenaga kesehatan di puskesmas, agar komunikasi tidak lagi menjadi penghalang layanan dasar.

“Kami meminta setiap organisasi perangkat daerah memastikan program-program berjalan sesuai prinsip inklusi,” tegas Uus.

Ia mengingatkan bahwa jurang ketimpangan dapat melebar apabila amanat UU Nomor 8 Tahun 2016 tidak diterapkan secara menyeluruh.

“Karena itu, pemerintah mendorong sektor swasta ikut menyediakan ruang kerja yang layak dan bebas dari praktik diskriminatif,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *