TASIK.TV | Isu seputar kembalinya Ujian Nasional (UN) kembali menjadi perdebatan hangat, terutama di kalangan guru yang langsung bersinggungan dengan pendidikan siswa.
Sementara sebagian pihak menilai UN dapat meningkatkan semangat dan daya juang siswa dalam belajar, tidak sedikit yang mengkritik kebijakan ini dan menilai bahwa UN membawa lebih banyak dampak negatif.
Kebijakan mengembalikan UN dianggap sebagai langkah mundur yang kembali memasukkan pendidikan dalam pola pikir lama. Berdasarkan riset yang diterbitkan oleh National Academy Science, UN justru berpotensi menimbulkan tekanan psikologis tinggi bagi siswa.
Tak jarang, siswa mengalami stres berat hingga berujung pada dampak yang fatal, seperti kasus bunuh diri yang dilaporkan terjadi setelah pengumuman hasil UN yang mengecewakan.
Kritik terhadap UN juga datang dari pendekatan penilaian yang dianggap terlalu sempit. Howard Gardner, seorang psikolog pendidikan terkemuka, berpendapat bahwa kecerdasan seharusnya mencakup kemampuan memecahkan masalah, menciptakan produk, dan memberikan kontribusi nyata di masyarakat.
Jika penilaian hanya dilakukan melalui ujian tertulis, maka aspek-aspek penting dari kecerdasan siswa terabaikan, khususnya kemampuan berpikir kreatif dan kritis yang semakin dibutuhkan dalam perkembangan zaman.
UN sering dikritik karena hanya mengukur aspek kognitif secara angka, tanpa mempertimbangkan kecerdasan siswa yang beragam. Bahkan, setelah bertahun-tahun diterapkan sejak 2005 hingga 2021, nilai PISA Indonesia belum menunjukkan peningkatan yang signifikan. Ini menandakan bahwa UN belum berhasil membawa dampak berarti bagi peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia.
Di sisi lain, pendidikan seharusnya melangkah maju ke paradigma baru, di mana penilaian tidak hanya berdasarkan angka semata. Sistem penilaian yang lebih holistik, seperti asesmen nasional yang baru-baru ini diterapkan, dinilai lebih relevan.
Asesmen nasional membuka peluang bagi siswa untuk mengeksplorasi berbagai aspek kecerdasan mereka, sekaligus membantu para guru mengidentifikasi kebutuhan dan kemampuan siswa dalam jangka panjang.
Asesmen nasional dinilai lebih adil karena mengakui perbedaan kondisi setiap siswa, baik secara sosial ekonomi maupun fasilitas pendidikan yang tersedia.
Perbedaan persiapan antara siswa di perkotaan dan pedesaan, serta antara siswa dari keluarga mampu dan kurang mampu, dapat diminimalkan dengan pendekatan asesmen yang menekankan pada proyek dan penilaian keterampilan praktis.
Dengan dihapuskannya UN dan diterapkannya asesmen nasional, diharapkan siswa Indonesia dapat mengembangkan kecerdasan mereka yang beragam dan terpakai untuk masa depan, bukan sekadar mengejar angka.
Pendidikan idealnya membentuk siswa sebagai pelajar sepanjang hayat, bukan sekadar lulusan yang terikat pada angka-angka dalam satu ujian tunggal.
Jika Indonesia kembali ke UN, maka kita seolah mundur ke paradigma pendidikan yang memandang siswa sebagai entitas yang seragam.
Inilah saatnya bagi kita untuk mendorong pendidikan berbasis karakter yang berfokus pada kecerdasan majemuk dan kemampuan jangka panjang siswa.