TASIK.TV | Aksi unjuk rasa sebagai bentuk ekspresi pendapat di muka umum adalah hak asasi manusia yang dijamin dan dilindungi oleh konstitusi Indonesia (Pasal 28E UUD 1945) serta berbagai peraturan turunannya seperti UU 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, Peraturan Kepolisian (Perkap) Tahun 200 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, dan sebagainya. Oleh karena itu, adalah kewajiban mutlak negara untuk melindungi hak tersebut tanpa pengecualian.
“Namun, kita menyaksikan bahwa aksi yang dilakukan oleh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada tanggal 26 September di Kota Tasikmalaya berakhir dengan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat Kepolisian dan Satpol PP. Ini adalah suatu hal yang sangat disayangkan karena seharusnya polisi berperan dalam melindungi hak kebebasan berpendapat, bukan sebaliknya, menjadi alat kekuasaan yang melakukan tindakan represif terhadap para aktivis,” ungkap pengurus Dewan Mahasiswa IAIT, Sabtu 30 September 2023.
Pihak Dewan Mahasiswa Institut Agama Islam Tasikmalaya (IAIT), dengan tegas mengecam dugaan tindakan melawan hukum dan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi dalam konteks ini.
“Pertama, kami mencatat bahwa ada dua korban dari kader HMI Cabang Tasikmalaya, di antaranya adalah pengurus Dewan Mahasiswa (DEMA) yang mengemban fungsi kabid advokat dan kastran,” ujarnya.
Mereka adalah korban ketika menyuarakan pendapat mereka melalui demonstrasi, dan kekerasan yang dialami adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang jelas.
“Kedua, kami menunggu tindakan baik dan kewajiban tanggung jawab dari Kepala Satuan Polisi Pamong Praja dan Polres Kota Tasikmalaya, serta Pemerintah Kota Tasikmalaya, untuk mengatasi kasus ini dengan adil dan berkeadilan,” tuturnya.
“Ketiga, jika tidak ada tindakan yang baik dan tanggung jawab yang diambil terkait insiden ini, maka kami khawatir bahwa aksi ini dapat berlanjut dan membesar, membawa konsekuensi yang lebih serius,” tegasnya.
Sikap apatis aparat dalam situasi ini, yang tidak mengedepankan nilai-nilai humanisme, sebenarnya telah melanggar peraturan seperti Peraturan Kapolri No. 16 Tahun 2006 tentang Pengendalian Massa, No. 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, serta No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Menurut Pasal 7 Peraturan Kapolri 16/2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa, aparat diharapkan untuk tidak bersikap arogan, menghindari provokasi dari massa, tidak melakukan pengejaran massa secara perorangan, serta menjauhi penggunaan kata-kata kasar dan penistaan terhadap pengunjuk rasa.
Semoga konferensi pers ini menjadi langkah positif dalam perbaikan lembaga keamanan dan kenyamanan masyarakat dalam menyampaikan pendapat atau aspirasi mereka kepada khalayak luas.