Tinjauan Kepemimpinan Transformasional dalam Manajemen Pendidikan 

Tinjauan Kepemimpinan Transformasional dalam Manajemen Pendidikan 

KOTA TASIK, TASIK.TV | Kinerja merupakan perilaku bagaimana target berhasil dicapai. Menurut John Miner (dalam Sutarto, 2009) mengatakan bahwa “Kinerja adalah tingkat keberhasilan seorang karyawan dalam melaksanakan pekerjaan. Kinicki dan Kreitner (2014) kinerja adalah siklus berkelanjutan dari peningkatan kinerja dengan penentuan tujuan, umpan balik dan pelatihan, serta penghargaan dan penguatan positif. Kerangka kinerja ada dua yaitu Motivation (attitude dan situation) dan Ability (knowledge dan skills). 

Thustone berpendapat bahwa sikap merupakan suatu tingkatan afeksi, baik bersifat positif maupun negatif dalam hubungannya dengan objek-objek psikologis, seperti: simbul, prase, slogan, orang, lembaga, cita-cita dan gagasan. Sedangkan teori Strength Situation mengusulkan bahwa cara kepribadian diterjemahkan ke dalam perilaku tergantung pada kekuatan situasi. 

Dengan kekuatan situasi, maksud kami sejauh mana norma, isyarat, atau standar mendikte perilaku yang sesuai. Situasi yang kuat menunjukkan kepada kita apa itu perilaku yang benar, menekan kita untuk menunjukkannya, dan mencegah perilaku yang salah. Dalam situasi yang lemah, sebaliknya, “apapun” pergi, dan dengan demikian, sifat kepribadian lebih baik memprediksi perilaku dalam situasi yang lemah dari pada yang kuat. 

Pengukuran kinerja meliputi 6 kriteria primer yaitu Quality, Quantity, Timelines, Cost effectiveness, Need for supervision, Interpersonal impact. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja yaitu usia, ras, jenis kelamin, masa kerja. Pemimpin transformasional merupakan orang-orang yang memotivasi para pengikutnya guna bertindak sesuai tujuan. Pemimpin transformasional itu harus berprestasi dan berkarya agar para pengikutnya menjadi respect. 

Praktik kepemimpinan transformasional meliputi Orientasi tugas, Orientasi hubungan dan Kekuasaan jabatan. Desain penelitian mengenai kepemimpinan transformasi yang dilakukan terhadap 176 responden, memperoleh kesimpulan bahwa tingkat motivasi pemimpin transformasi hanya 16,40 %, dan tingkat kinerja lebih dominan sebanyak 83, 60 %. 4 Kepemimpinan transformasi merupakan kemampuan kepemimpinan yang komprehensif dan terpadu yang diperlukan bagi individu, kelompok, maupun organisasi untuk menghasilkan transformasi yang ditandai dengan perubahan pada setiap tahapan kegiatan (Hacker & Robberts: 2004). 

Sedangkan esensi kepemimpinan transformasi tampak pada proses menginspirasi, mengembangkan, dan memberdayakan pengikutnya. (Yulk: 2010). Dengan demikian kepemimpinan transformasinal merupakan proses menginspirasi dan memberdayakan individu, kelompok dan organisasi. Akhir-akhir ini, kepemimpinan transformasi dikembangkan untuk menghadapi perubahan pada masa yang akan datang dengan cara mentransformasi paradigma dan nilai-nilai individu dalam organisasi untuk mendukung tercapainya tujuan dan visi organisasi. 

Istilah kepemimpinan transformasi semula dimunculkan oleh Downton pada tahun 1973 dan dikembangkan oleh seorang sosiolog di bidang politik, MacGregor Burns pada tahun 1978 (Northouse: 2010). Dalam penelitiannya Burn menghubungkan antara peran kepemimpinan dengan peran kepengikutan. Burn menyatakan bahwa tugas pemimpin adalah mendorong semangat pengikutnya untuk mencapai tujuan bersama. 

Bernard M, & Ronald E: 2006 menyatakan bahwa kepemimpinan transformasi diperlukan, mungkin karena kepemimpinan transformasi menekankan pada motivasi intrinsik dan juga menekankan pengembangan para pengikut. Pernyataan ini, walaupun terdapat kata? mungkin? dapat menguatkan bahwa memberikan motivasi kepada para pengikutnya merupakan salah satu ciri kepemimpinan transfomasional. 

Sedangkan aspek-aspek kepemimpinan transformasi lainnya adalah: Kepemimpinan transformasi muncul pada waktu orang-orang dalam organisasi (pemimpin dan pengikutnya) menginginkan untuk meningkatkan motivasi dan moralitas yang tinggi. Kondisi ini dapat muncul pada organisasi bisnis manakala organisasi tersebut sedang menghadapi pesaing atau banyaknya ketidak puasan pelanggan. Dalam organisasi pemerintah dapat muncul pada saat kritik dari masyarakat meningkat. 

Kepemimpinan transformasi berusaha untuk memotivasi dan menginspirasi orangorang sekitarnya dengan cara menjelaskan bahwa pekerjaan mereka penting dan penuh tantangan. Cara memotivasi dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan misalnya dengan pendekatan teori kebutuhan, yaiu memenuhi kebutuhan utama para pengikutnya seperti kebutuhan fisik, keamanan, sosial, penghargaan, dan aktualisasi diri. Atau dengan cara menciptakan keadilan yang dituangkan dalam sistem permanen, dan memberikan kesempatan untuk memberikan kontribusinya dalam memajukan organisasi. 

Sedangkan untuk membangkitkan inspirasi dapat dilakukan dengan mengevaluasi atas kegagalan dan 5 keberhasilan yang telah dicapai, mendorong terjadinya proses pembelajaran seperti diskusi, membaca, studi banding dan sebagainya. Kepemimpinan transformasi mampu mengurangi ketergantungan para pengikut terhadap pemimpinnya, dengan cara mendelegasikan kewenangan, mengembangkan kemampuan, dan meningkatkan rasa percaya diri para pengikutnya, mendorong untuk mengatur sendiri kerja tim, melengkapi akses langsung utuk memperoleh informasi, menghilangkan fungsi kontrol yang tidak perlu, dan menciptakan budaya kerja yang kuat untuk pemberdayaan. 

Tentunya dalam mengurangi ketergantungan perlu diperhatikan pula kematangan dari para pengikut. Pengikut yang telah matang dan dewasa dalam arti telah memiliki kemampuan kerja yang memadai dan perilaku yang baik akan lebih tepat untuk diberikan delegasi wewenang dan kesempatan mengembangkan diri secara luas. Pendelegasian wewenang dapat mendorong inisiatif para pengikut untuk menciptakan perubahan. 

Kesalahan-kesalahan kecil dan tidak signifikan bukan merupakan kesengajaan, tetapi merupakan semangat untuk berani mencoba, misalnya mencoba cara-cara kerja baru. Kepemimpinan transformasi mengembangkan pemikiran visioner, seperti dalam pengembangan organisasi dan dalam mengatasi permasalahan yang tidak dapat diselesaikan secara terstruktur, seperti dalam keadaan krisis. Dalam keadaan krisis diperlukan pemikiran ?out of the box?, oleh karena pada umumnya sistem yang diciptakan dirancang untuk mengatur hal-hal yang rutin. 

Kepemimpinan transformasi lebih mengembangkan cara kerja kolaboratif ketimbang cara kerja hierarkis, dengan melalui pembelajaran individual maupun pembelajaran organisasi. Kerja kolaboratif akan memperoleh hasil yang sinergis, yaitu hasil yang lebih besar dari pada penjumlahan hasil kerja individu?. Sedangkan cara kerja hierarkis terkadang harus melalui proses yang cukup panjang dan memakan waktu lama, dan kadang kala hanya untuk memenuhi kepentingan formal dan kurang memperhatikan pertanggung jawaban substansi dan rasional.

Kepemimpinan transformasi meningkatkan pemberdayaan pengikut sehingga cocok untuk menghadapi perkembangan situasi dan lingkungan yang berpengaruh terhadap organisasi. Pernyataan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa aspek kepemimpinan transformasi meliputi memotivasi, menginspirasi, mendorong inisiatif, mengurangi ketergantungan/meningkatkan kemandirian, mendorong berfikir organisatoris dan kolaboratif, mempromosikan pemberdayaan. Untuk dapat menciptakan kondisi tersebut berikut ditawarkan kiat-kiat dalam kepemimpinan transformasi. 

1. Mengkomunikasikan visi dengan jelas 
Pemimpin transformasi harus menyampaikan visi organisasi secara jelas dan terbuka, dan meyakinkan setiap anggota organisasi bahwa bekerja dengan berorientasi pada pencapaian visi organisasi akan membawa sukses. Dalam mengkomunikasikan visi hendaknya dijelaskan manfaat yang akan diperoleh bagi organsasi maupun individu, misalnya akan diperoleh kemampuan organisasi dalam menghadapi persaingan sehingga menjadi organisasi yang maju (leading organization), menciptakan lingkungan kerja yang kondusif dan meningkatkan kesejahteraan dan kepuasan kerja pegawai. 

Pernyataan visi mengandung unsur kualitas yang akan dicapai, sehingga apabila seorang pemimpin berhasil dalam mengkomunikasikan dan menginternalisasi visi organisasi kepada semua tingkatan, dari pegawai terendah sampai pejabat tertinggi, maka mereka akan bekerja dengan mengutamakan kualitas. Misalnya seorang cleaning service akan membersihkan kantor dan peralatannya dengan standar kualitas yang tinggi, begitu pula para pemimpin puncak dalam melaksanakan tugas konseptualnya seperti dalam pengambilan keputusan. Sukses tidaknya dalam penyampaian visi ini merupakan tanggung jawab pemimpin. 

Oleh karena itu pemimpin transformasi haruslah terlebih dahulu dapat meyakinkan dirinya sendiri bahwa visi organisasi yang telah ditetapkan merupakan visi yang baik dan benar sehingga akan membawa organisasi menjadi organisasi yang berhasil. 
Keyakinan terhadap visi tersebut merupakan modal utama bagi seorang pemimpin yang akan menyampaikan visi organisasi kepada pengikutnya. Dapat dibayangkan apa yang akan terjadi jika seorang pemimpin yang mengkomunikasikan visi tidak yakin terhadap visi yang sedang dikomunikasikan. Jika hal ini terjadi maka proses dalam mengkomunikasikan visi dipastikan tidak akan berhasil. 

Para pengikut akan membaca ketidak yakinan pemimpin tersebut melalui ekspresi dan cara-cara menyampaikannya. Disamping itu pemimpin transformasi juga harus mempunyai kredibilitas yang tinggi, dalam arti mempunyai hard competency dan soft competency yang memadai. Kedua kompetensi ini merupakan kekuatan untuk mempengarui para pengikut dalam proses internalisasi visi organisasi. Hard competency ditunjukkan dengan kemampuan kerja yang memadai, seperti dalam mengidentifikasi dan menganalisis masalah dalam rangka pengambilan keputusan. 
Sedangkan soft competency ditunjukkan dengan kemampuan dalam pengembangan jejaring kerja (networking). Keberhasilan internalisasi visi juga ditentukan oleh bagaimana cara berkomunikasi. Visi hendaknya dikomunikasikan dengan berbagai cara pada setiap kesempatan. Komunikasi interaktif dengan disediakan 7 sesi tanya jawab yang cukup akan lebih berhasil dari pada komunikasi satu arah. Untuk membantu dalam menjelaskan visi dapat digunakan gambar, slogan, cerita, simbol dan analogi. 

Pemimpin transformasi harus meyakinkan pengikutnya bahwa visi yang telah ditetapkan merupakan visi yang layak (visible) untuk dicapai, dan juga harus menjelaskan secara rasional hubungan antara strategi-strategi organisasi dengan visi yang telah ditetapkan. Selanjutnya strategi-strartegi tersebut dijabarkan sampai tingkat kegiatan. Untuk menguji tingkat rasionalitas hubungan dari visi sampai dengan kegiatan dapat dilakukan dengan menggunakan? sebab akibat? atau dengan ?jika maka?. 

2. Melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) 
Pemimpin transformasi harus berkata secara jujur dan tidak diperkenankan untuk berpura-pura mengetahui semua permasalahan dan menjawab semua pertanyaan tentang strategi-straegi yang telah disusun untuk mewujudkan visi. Karena keterbatasan tersebut, strategi organisasi hendaknya disusun dengan melibatkan para pemangku kepentingan/pengikut agar diperoleh strategi yang mengakomodasi berbagai aspek. 
Dengan demikian para pengikut harus didorong untuk mengembangkan pemikiranpemikiran kreatif dan komprehensif. Masukan ini sangat penting terutama pada waktu terjadi masalah yang kompleks seperti kondisi krisis yang tidak dapat diselesaikan secara struktural. 

3. Menanamkan nilai-nilai organisasi 
Pemimpin transformasi juga harus mampu menanamkan nilai-nilai yang dianut oleh organisasi sebagai pedoman untuk bertindak dan bekerja dalam rangka mewujudkan tujuan dan visi organisasi. Nilai-nilai organisasi dapat ditetapkan oleh pendiri organisasi (Robbins: 2001) atau disusun bersama oleh pemegang kepentingan. 

Nilai merupakan pernyatan normatif sebagi pedoman untuk berkerja, seperti nilai pengembangan diri, kejujuran, kebersamaan, dan nilai keadilan. Pemimpin trnsformasional harus mampu mengawal implementasi nilai-nilai tersebut agar secara terus menerus dapat dijadikan pedoman dalam bekerja, misalnya dengan cara memberikan reward seperti promosi jabatan yang diprioritaskan kepada mereka yang mematuhi nilai-nilai dalam bekerja. 

Misalnya dalam hal mengawal implementasi nilai pengembangan diri, maka kepada mereka yang selalu belajar akan diprioritaskan dalam promosi jabatan. Dan juga dalam rekruitment telah diutamakan mereka yang telah mempunyai minat untuk mengembangkan diri. 

 4. Mengembangkan optimism 
Kiat berikutnya adalah bahwa pemimpin transformasi harus optimis dan percaya diri dalam bertindak. Rasa percaya diri seorang pemimpin secara otomatis menular, mengalir dan meningkatkan keteguhan hati para pengikut untuk bertindak sehingga akan diperoleh kinerja yang lebih baik. Keteguhan hati dapat membangun rasa optimisme para pengikutnya dan selanjutnya optimisme dapat membuka peluang yang besar untuk mengembangkan potensi diri, sehingga dapat menjadi modal dalam menghadapi situasi yang sulit, sedangkan perasaan pesimisme merupakan penyakit yang dapat membatasi dan menutup diri untuk bertindak, oleh karena pesimisme membelenggu pikiran kita dengan kelemahan dan kesulitan dalam menghadapi masalah. 

Memang tidak mudah untuk membangun optimisme para pengikut, namun seorang pemimpin transformasi harus mampu untuk berbuat agar para pengikut menjadi optimis. Optimisme dapat dibangun dengan slogan-slogan seperti ?saya pasti bisa?. 

5. Memberdayakan pengikut 
Pemimpin transformasi juga harus mampu memberdayakan para pengikutnya agar mampu bekerja secara kelompok untuk memperoleh hasil yang sinergis. Bukankah pekerjaan pada organisasi merupakan pekerjaan yang sulit (complicate) dan harus diselesaikan secara bersama-sama dengan menggunakan kemampuan dan keterampilan yang berbeda?

 Untuk itu pemimpin transformasi harus mampu mempromosikan rasa saling menghargai dan menghormati perbedaan, baik perbedaan-perbedaan yang bersifat individual maupun perbedaan tugas dan tanggung jawab dalam organisasi. Perbedaan harus dipandang sebagai suatu kekuatan dan peluang untuk saling melengkapi sehingga menjadi kekuatan yang sinergis. Rasa kebersamaan ini memang harus ditanamkan kepada setiap pegawai pada setiap kesempatan bahkan dalam rekruitmen pegawai harus telah diprioritaskan bagi pegawai yang telah mempunyai kesanggupan kuat untuk bekerja dalam kelompok. 

6. Mengembangkan organisasi 
Kepemimpinan transformasi juga harus mengadakan transformasi organisasi untuk menghadapi perubahan lingkungan, baik perubahan dalam proses bisnis maupun perubahan struktur organisasi. Perubahan tersebut lazim disebut pengembangan organisasi (organizational development). Dalam proses bisnis perlu ditetapkan standar baik standar waktu, kualitas, dan jumlah yang diperlukan untuk menghasilkan suatu produk.

Standar-standar tersebut perlu dikomunikasikan kepada seluruh pegawai 9 sebagi pedoman kerja. Sedangkan pengembangan organisasi dapat diartikan sebagai upaya untuk meningkatkan kapabilitas organisasi dalam mencapai visinya. Pengembangan organisasi tidak terbatas pada pengembangan dan memperbesar struktur organisasi, tetapi juga dapat berupa penggabungan unit-unit kerja, penajaman fungsi, dan modernisasi. 

7. Menunjukkan keteladanan 
Kiat terakhir kepemimpinan transformasi adalah keteladanan. Keteladanan merupakan kiat yang ampuh dalam organisasi. Action speaks loudly than word (Robbins; 2001). Keteladanan dalam perilaku seperti kejujuran, semangat kerja, keberanian, keterbukaan, kebersamaan, dsb. hanya dimiliki oleh pemimpin sejati (the real leader), yaitu pemimpin yang memiliki integritas yang kuat, membela kebanaran, dan menjaga keselarasan atara pikiran, perkataan, dan tindakan berdasarkan kebenaran dan fakta walaupun beresiko, dan tidak takut diberhentikan dari jabatannya.

Dr. Luthfi Nur, M.Pd.
Dosen Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Indonesia 
Kampus Tasikmalaya