TASIK.TV | Air, sebagai simbol kehidupan, mengajarkan kita prinsip keadilan yang seharusnya diterapkan dalam pendidikan. Seperti air yang mengalir tanpa pilih kasih, ia memenuhi ruang kosong, membasahi celah-celah kecil, dan memberikan manfaat bagi siapa saja yang membutuhkan.
Pendidikan idealnya mengikuti jejak ini, menjadi mata air yang menghidupi, bukan menciptakan air mata kesedihan akibat ketimpangan.
Namun, realitas sering kali bertentangan dengan idealisme. Di negeri ini, ketidakadilan dalam pendidikan bukan hanya kabar burung, melainkan fakta yang menetes seperti air mata.
Ketimpangan terjadi di berbagai lini: kualitas sarana, kesejahteraan pendidik, hingga pengakuan terhadap hak peserta didik.
Bagaimana mungkin seorang guru honorer yang hanya digaji Rp. 250.000 per bulan dapat memberikan pendidikan berkualitas sementara ia sendiri hidup dalam kekurangan? Bagaimana mungkin sekolah-sekolah di pelosok yang hampir roboh dapat mencetak generasi gemilang?
Ketidakadilan ini bukan hanya persoalan struktural, tetapi juga kultural. Dalam lingkungan kelas, masih kerap terjadi diskriminasi terselubung.
Penilaian yang seharusnya berbasis kompetensi, sering kali tergelincir ke bias subjektif: prestasi milik “si good looking” atau “si good rekening.”
Padahal, pendidikan adalah arena pembebasan ide, tempat etika, moral, dan budaya dipupuk tanpa melihat latar belakang sosial atau ekonomi peserta didik.
Pada titik ini, keadilan menjadi utopia yang memanggil kita untuk bertindak.
Para pemangku kebijakan pendidikan—dari tingkat nasional hingga lokal—memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan mata air pendidikan mengalir dengan adil.
Tidak boleh ada lagi ketimpangan yang memenjarakan potensi peserta didik hanya karena mereka lahir di tempat yang salah atau belajar di bawah kondisi yang serba kurang.
Sebagai refleksi, Hari Guru bukan sekadar perayaan. Ia adalah momen introspeksi. Pendidikan yang sejati bukanlah produk statistik atau grafik keberhasilan semu.
Ia adalah nyawa dari kemajuan bangsa. Selama keadilan hanya disimpan dalam “lemari hati” pemangku kebijakan, air mata akan terus menetes, dan mata air sejati akan tetap menjadi ilusi.
Mari bergerak bersama, agar mata air pendidikan Indonesia benar-benar menjadi sumber kebahagiaan dan kemajuan.
Untuk guru-guru yang setia mengabdi meski sering kali dilupakan, semoga kesejahteraan dan keadilan menjadi hadiah yang layak mereka terima.







