TASIK.TV | Di dunia yang terus berubah, batas antara legal dan ilegal, bermoral dan amoral, serta menguntungkan dan merugikan selalu bergeser mengikuti kepentingan zaman. Sejarah telah mencatat bagaimana opium di Tiongkok, alkohol di Amerika, hingga tembakau yang dahulu dianggap kontroversial, akhirnya menjadi bagian dari industri yang menguntungkan. Kini, ganja menjadi subjek perdebatan serupa.
Mantan perwira tinggi kepolisian, Irjen Pol (Purn) Drs. Haji Safarudin, M.I.Kom., berpendapat bahwa ganja dapat menjadi industri sederhana yang mampu membuka banyak lapangan pekerjaan. Namun, pertanyaannya: haruskah ganja dilegalkan atau tetap berada dalam bayang-bayang kriminalisasi?
Jika legalisasi ganja dilakukan bukan hanya untuk keperluan medis, tetapi juga sebagai strategi ekonomi dan sosial, apakah ini benar-benar solusi atau sekadar hiburan di tengah krisis?
Pernyataan bahwa “negara sedang gelap, tetapi rakyatnya bisa tetap tertawa” mencerminkan dua paradoks:
- Tawa sebagai bentuk kebebasan terakhir di tengah keterpurukan.
- Ekonomi yang tumbuh dari sesuatu yang dulunya dianggap tabu, mengubah stigma menjadi peluang.
Negara dan Legalisasi: Antara Moral dan Modal
Negara, pada dasarnya, adalah entitas yang hidup dari regulasi. Apa yang boleh dan tidak boleh sering kali ditentukan bukan berdasarkan nilai moral absolut, tetapi lebih kepada manfaat ekonomi dan kepentingan politik.
Sejarah menunjukkan bahwa sesuatu yang dulunya ilegal bisa berubah menjadi legal ketika negara melihat potensinya sebagai sumber daya ekonomi.
- Tembakau yang pernah dianggap sebagai “tanaman setan” di Eropa abad ke-17 akhirnya menjadi industri bernilai miliaran dolar setelah dikenakan pajak.
- Alkohol yang sempat dilarang di Amerika selama era Prohibition (1920-an) akhirnya dilegalkan kembali setelah negara menyadari bahwa kriminalisasi justru memperkaya mafia dan mengurangi pendapatan pajak.
Bagaimana dengan ganja?
Saat ini, banyak negara telah melegalkan ganja untuk keperluan medis dan rekreasional, seperti Kanada, beberapa negara bagian di Amerika Serikat, dan Thailand. Industri ganja bahkan menyumbang pendapatan pajak miliaran dolar, membantu negara-negara yang tengah menghadapi defisit anggaran.
Namun, apakah legalisasi selalu menjadi jalan keluar, ataukah ini hanya strategi bertahan dalam sistem yang semakin absurd?
Ganja: Simbol Eskapisme atau Rekonstruksi Sosial?
Jika sebuah negara berada dalam kondisi sulit dan rakyatnya memilih untuk tertawa daripada menangis, itu bisa diartikan sebagai pergeseran paradigma dalam melihat realitas.
Apakah mereka menerima absurditas dunia sebagaimana dikatakan oleh Albert Camus dalam The Myth of Sisyphus, ataukah mereka hanya menyerah pada keadaan yang tak bisa diubah?
Dalam konteks ini, ganja bisa menjadi dua metafora:
- Sebagai bentuk eskapisme, pelarian dari krisis ekonomi dan tekanan sosial.
- Sebagai alat rekonstruksi sosial, di mana sesuatu yang sebelumnya dianggap merugikan justru diubah menjadi peluang ekonomi baru.
Tawa rakyat yang muncul dalam keterpurukan bisa dilihat sebagai bentuk kritik terhadap sistem yang tidak lagi memberi mereka harapan. Mereka tidak tertawa karena bebas, tetapi karena sadar bahwa dunia tetap berjalan dengan absurditasnya, apakah mereka serius atau tidak.
Legalisasi Ganja: Solusi Nyata atau Sekadar Hiburan?
Apakah ganja harus dilegalkan? Jika dilihat dari perspektif ekonomi, jawabannya mungkin iya, seperti yang telah terjadi di banyak negara.
Namun, apakah legalisasi akan benar-benar membawa kebahagiaan bagi rakyat? Itu adalah pertanyaan yang lebih kompleks.
Jika kebijakan ini diambil hanya sebagai jalan pintas untuk menenangkan masyarakat yang terjebak dalam kondisi ekonomi buruk, maka itu bukan solusi, melainkan distraksi.
Tawa yang muncul bukan karena kesejahteraan atau keadilan, tetapi karena rakyat akhirnya menyerah dan memilih menikmati absurditas hidup.
Sebelum berpikir untuk melegalkan ganja, pertanyaan yang lebih penting adalah:
Mengapa sebuah negara bisa sampai pada titik di mana satu-satunya cara agar rakyat bisa tertawa adalah dengan membuat mereka mabuk?