Impresi

Bernyanyi dengan Suara Tunggal, Membungkam yang Jamak

141
×

Bernyanyi dengan Suara Tunggal, Membungkam yang Jamak

Sebarkan artikel ini

TASIK.TV | Setiap hari, yang kudapat hanyalah kabar buruk berhamburan seperti debu. Isu datang silih berganti, seperti gelombang pasang yang tak pernah surut. Mereka yang berkuasa bernyanyi dengan suara satu merdu, harmonis, tertata seperti paduan suara yang telah berlatih sekian dekade. Namun, di balik melodi yang mereka dendangkan, suara dua tak terdengar, makna tersesat, dan yang berbeda dibiarkan menghilang.

Ketika suara rakyat naik ke panggung, mikrofon dimatikan. Ketika mereka bersuara, aturan disusun dengan tinta kepentingan. Seolah oleh demokrasi hanyalah pertunjukan monolog, di mana hanya satu aktor yang berhak bicara, sementara yang lain menjadi latar bisu.

Sementara itu, di luar gedung-gedung tinggi tempat keputusan dibuat, rakyat menyanyikan lagu yang berbeda

Langit penuh kata-kata
Tapi kosong maknanya
Keadilan digadaikan
Hanya uang yang berbicara

Tapi siapa yang mau mendengar?

“Sejarah adalah kebohongan yang disepakati,” kata Napoleon. Tapi di negeri ini, sejarah bukan hanya kebohongan, melainkan kebingungan yang diproduksi secara massal. Setiap hari, kenyataan berubah seperti siaran berita yang tak pernah stabil hari ini laut dijual, besok gas melon menghilang, kemarin timah lenyap. Mobil mobil oleng karena oplosan pertamina,

Pemerintah pun menggelar koor mereka

Dengar kami, suara negeri
Membangun hari, janji terpenuhi
Laut dijaga, tanah subur
Demi esok yang makmur

Tapi apakah realitas seindah itu?

Tentu tidak ferguso , Jika ingin mengenal seseorang, berikan dia kekuasaan,begitu kata Lincoln. Dan benar, kita tak perlu lagi menebak siapa mereka, karena kekuasaan telah menelanjangi mereka lebih baik daripada cermin yang jujur.

Keadilan tanpa kekuatan adalah ketidakberdayaan, kekuatan tanpa keadilan adalah tirani, ujar Pascal. Tapi di sini, keadilan dipinjamkan kepada mereka yang kuat, lalu direbut dari mereka yang lemah.

Mikrofon kebebasan bicara hanya berfungsi satu arah. Ketika rakyat berbicara, tiba2 semua alat pengeras suara rusak, sinyal siaran mendadak hilang, dan telinga penguasa menjadi tuli.

Sementara itu, di jalanan, suara2 kecil tetap menyelinap, menggema di antara tembok2 kebisuan.

Setiap generasi harus menemukan takdirnya, kata Fanon. Dan mungkin takdir kita bukan hanya menjadi saksi, melainkan menjadi pengacau dari orkestra yang monoton ini. Sebab, jika hari ini kita diam, esok hari kita hanya akan mengenang kebisuan kita sendiri.

Jangan takut suara-suara kecil. Revolusi besar selalu dimulai dari bisikan yang diabaikan, tulis seorang penyair yang namanya dilarang disebut.

Dan kini, kita kembali bertanya: esok, kehilangan apalagi yang harus kita anggap biasa?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *