TASIK.TV | Belakangan ini, publik dikejutkan oleh kabar kerusakan lingkungan di kawasan Raja Ampat, Papua Barat Daya, akibat proyek pertambangan nikel. Lima pulau di wilayah yang dikenal sebagai salah satu surga terakhir di bumi itu dilaporkan menjadi sasaran eksploitasi perusahaan tambang yang mengantongi izin resmi dari pemerintah.
Kelima pulau tersebut adalah:
- Pulau Gag – dengan luas tambang mencapai 187,87 hektare,
- Pulau Manuran – Izin Usaha Pertambangan (IUP) seluas 1.173 hektare,
- Pulau Batang Pele – mencakup area 2.193 hektare,
- Pulau Kawe – dengan IUP seluas 5.922 hektare,
- Pulau Waigeo – seluas 3.000 hektare.
Rencana tambang ini langsung menuai gelombang penolakan dari masyarakat dan berbagai kalangan. Kekhawatiran muncul karena keindahan alam bawah laut serta keanekaragaman hayati Raja Ampat sangat langka dan tak ternilai. Gugusan pulau ini selama ini dijuluki sebagai “Sepenggal Surga di Bumi” karena pesonanya yang luar biasa.
Merespons protes tersebut, pemerintah akhirnya mencabut empat dari lima izin usaha pertambangan di kawasan tersebut. Namun, langkah ini masih menyisakan pertanyaan besar tentang arah kebijakan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.
Fenomena ini bukan hal baru dalam sistem kapitalisme, di mana privatisasi sumber daya alam dan energi (SDAE) menjadi praktik yang lumrah. Kasus tambang nikel di Raja Ampat hanyalah satu dari sekian banyak contoh eksploitasi kekayaan alam oleh pihak swasta, baik dalam maupun luar negeri.
Lihat saja Tembagapura, yang selama puluhan tahun dikuasai perusahaan asing PT Freeport, menghasilkan sekitar 50–60 ton emas batangan per tahun. Atau Blok Cepu yang terbentang dari Bojonegoro hingga Blora, yang selama bertahun-tahun dikelola ExxonMobil dengan produksi migas mencapai 500 juta barel dan terus meningkat.
Mirisnya, kekayaan alam yang begitu melimpah itu justru tidak dinikmati secara merata oleh rakyat Indonesia. Sebaliknya, angka kemiskinan masih tinggi, dan ketimpangan ekonomi tetap menjadi persoalan akut.
Barang tambang, terutama yang jumlahnya melimpah, seharusnya tidak boleh dimiliki oleh individu atau korporasi—apalagi asing. Sumber daya alam dan energi harus dikelola oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Selain itu, eksploitasi besar-besaran tanpa kajian yang matang hanya akan memperparah kerusakan lingkungan dan mengganggu keseimbangan ekosistem.
Untuk itu, diperlukan pendekatan yang menyeluruh dan adil dalam pengelolaan sumber daya alam, termasuk analisis dampak lingkungan yang ketat. Dalam sistem Islam, pengelolaan alam memiliki aturan yang jelas agar tidak terjadi kerusakan. Allah SWT berfirman:
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di bumi setelah (Allah) memperbaikinya. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Al-A’raf: 56)
Sudah saatnya kebijakan pengelolaan alam berpihak pada rakyat, bukan hanya pada keuntungan semata.