Impresi

Magrib dan Momen yang Hilang, Antara Berbuka dan Membuka Aib

169
×

Magrib dan Momen yang Hilang, Antara Berbuka dan Membuka Aib

Sebarkan artikel ini

TASIK.TV | Azan berkumandang, dan orang-orang pun bergegas menyudahi puasa mereka. Gelas-gelas berisi air bergetar di tangan yang menahan dahaga. Sepotong kurma, sebutir nasi, atau seteguk teh hangat menjadi ritual suci yang tak terlewatkan.

Namun, di balik perjuangan siang hari melawan ketakutan akan setetes air yang bisa membatalkan puasa, ada hal lain yang lebih mencolok—ketakutan yang tidak berlaku pada sesuatu yang lebih halus, namun lebih dalam mengoyak kehormatan orang lain: mengunyah reputasi sesama dan menelan daging saudara sendiri.

Berpuasa tidak sekadar menahan lapar dan haus. Ia adalah latihan spiritual untuk mengekang hawa nafsu, bukan hanya dalam bentuk konsumsi fisik, tetapi juga dalam ucapan dan tindakan.

Namun, betapa ironisnya ketika kita begitu khawatir terhadap sesuatu yang masuk ke dalam mulut, tetapi tak gentar terhadap sesuatu yang keluar darinya. Sebuah bisikan gosip, cemoohan ringan, atau fitnah yang dibungkus dengan kepura-puraan keprihatinan sering kali terdengar lebih nyaring daripada panggilan azan itu sendiri.

Ada semacam kemunafikan yang sering tak disadari. Kita takut pada dosa kecil yang tampak jelas di hadapan mata—seperti seteguk air yang masuk ke tenggorokan di siang hari Ramadan—tetapi merasa enteng terhadap dosa yang lebih subtil, yang menghancurkan dari dalam.

Menggunjing, memfitnah, atau merendahkan orang lain seolah bukan pelanggaran yang layak ditakuti. Padahal, jika kita renungkan, dosa-dosa verbal ini lebih sulit diperbaiki daripada sekadar batalnya puasa yang bisa diganti dengan satu hari tambahan.

Mungkin ini bukan sekadar masalah ketidaktahuan, tetapi sebuah pola selektif dalam beragama. Kita cenderung takut pada hal-hal yang memiliki konsekuensi langsung dan kasat mata, tetapi mengabaikan yang konsekuensinya datang secara perlahan, tak terlihat, dan tak segera terasa. Sama seperti seseorang yang sibuk menjaga ritual tetapi lupa pada esensinya—mengerjakan tanpa menghayati, menahan tanpa memahami.

Sebentar lagi magrib tiba, dan kita akan melihat pemandangan yang sama: kelegaan setelah seharian menahan lapar dan haus. Namun, apakah kita juga berani menahan diri dari lapar dan haus yang lain—lapar akan sensasi, haus akan penghakiman, dan kebiasaan menguliti orang lain demi kepuasan diri? Sebab jika tidak, mungkin kita hanya sekadar menahan diri dari makan dan minum, tetapi gagal dalam menjalankan makna sebenarnya dari puasa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *